Sabtu, 26 Juni 2010

Perjalanan Menuju Keruntuhan

Konon setiap pembebasan spiritual yang (barangkali) berupa suatu lompatan psikologis – atau sebagian menyebutnya Pencerahan – didahului oleh suatu rentetan keraguan, kebingungan, keputus-asaan, mungkin juga kemuakan (Orang Jawa bilang eneg, orang Inggris: fed up).

Seorang pemikir Perancis, Hubert Benoit (HB), yang banyak terinspirasi oleh Zen – seorang kolega DT Suzuki dan Aldous Huxley – menyatakan:

"The true way... is a descent which leads down until, at the lowest point, the individual touches and takes possession of the axis or tree of Heaven, and is then borne aloft into the infinite heights of the Void."
The Realization of The Self

Jalan sejati, menurut HB, ialah praktek 'menuju keruntuhan', hingga segenap apa yang selama ini kita percayai ditanggalkan. Ia bukan proses yang konstruktif – ia adalah dekonstruksi yang paling radikal. Seseorang mesti runtuh dan mati ego-nya untuk bisa dilahirkan kembali. Yang menarik, ia kemudian menyatakan sesuatu yang barangkali lebih terkait dengan kita:

"The first stages in the descending path are characterized by the compensation becoming less attractive. When we picture ourselves engaging in some compensatory activity, a voice within us immediately says: 'And then what?' or 'What is the point?..."

'compensation' yang dimaksud HB di sini ialah pelarian 'duniawi' yang dikejar (atau dibenci) 99.9% umat manusia. Ego kita dibangun atas ruang hampa (void), secara bawah-sadar sesungguhnya kita menyadari hal ini dan karena rasa bolong ini kita mencari pelarian yang tak terbatas kombinasinya mengingat kebodohan manusia tidak ada batasnya. Seseorang terkadang sampai pada suatu titik kulminasi di mana ia terpaksa percaya bahwa semua kompensasinya ini sia-sia.

"....we feel a new sadness which seems to be without a cause. We try to discover its source, but we either cannot or we come up with reasons which are out of keeping with our deep sense of sadness."

Banyak kisah Pencerahan Master-Master besar didahului oleh kegelisahan eksistensial, mungkin rasa tak berdaya, buntu, macet. Entah sama atau tidak, Master Sheng-yen, dalam salah satu autobiografi-nya, meng-istilah-kan kumen, stress berat yang ia alami selama ia berdinas militer.

Perlu dicatat bahwa 'stress' di sini 180 derajad berbeda dengan stress orang biasa – stress gagal sukses atau stress minder, stress oleh asmara, stress beban hidup dan keluarga, dll. Lazimnya orang stress karena ia gagal menggapai apa yang ia hasratkan, ataupun ia kejatuhan apa yang ia benci – karena hidupnya tak berjalan sesuai kehendaknya. Kegelisahan eksistensial dilatari oleh pemahaman bahwa kehendak ini memang dari sononya tak masuk akal dan menurutinya ialah upaya(menurut Nabi Daud) 'menjaring angin'. Orang stress biasa bisa reda/hilang stressnya kalau keinginannya dipenuhi (meski ia juga belum tentu bisa merumuskan apa yang ia inginkan). Orang yang gelisah eksistensial mungkin tak punya apa-apa lagi yang diingini di jagad raya ini – kecuali kehendak untuk, mungkin, tidak dilahirkan (to be unborn).

Dan mungkin, dalam taraf tertentu, segenap rasa ini juga pernah dirasakan oleh kawan-kawan semua.

Namun, tidak bisa dibalik-artikan bahwa orang yang mengalami rasa tersebut sudah seinci dari Pencerahan.

Kegelisahan eksistensial tidak bisa dibuat, direncanakan, ia mesti muncul secara alamiah seiring matangnya pribadi seseorang. Seorang bocah bisa saja membaca sejumlah buku filsafat tertentu kemudian mengatakan 'hidup ini sia-sia' – atau bersikap fatalistik; namun ia 'belum siap untuk benar-benar patah' – ia hanya melendut lemas. Yang terjadi justru rasionalisasi atas kemalasan (idleness). Kematangan ego ini penting karena keputus-asaan ini mesti benar-benar sepenuh hati, bila tidak maka di permukaan nampaknya putus-asa namun di dalam batin sesungguhnya masih ada gejolak kepingin ini itu.

Praktek spiritual, secara paradoks, barangkali justru tidak diarahkan untuk berputus-asa dan bermalas-malasan, ia malah diarahkan agar kita luwes, tabah, adaptable. Kita belajar mengendalikan pikiran agar menjadi lebih tegar dalam menghadapi kesulitan hidup. Kita belajar menerima, memahami, dan mengawasi penderitaan agar 'kapasitas menderita' kita semakin besar – keruntuhan dan keputusasaan eksistensial harus dan akan datang secara alami. Ibarat meniup balon, mengendurkan semangat secara prematur justru akan mengempiskan balon yang telah mengembang, balon ini mesti terus dikembungkan hingga regangan maksimal yang bisa ditahan, dan meletus.


Dari Yoko ps

Tidak ada komentar:

Posting Komentar